Minggu, 09 Maret 2014

Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe

Ini perempatan yang pernah membuatku misuh dahulu. Bukan mengumpati kemacetannya, melainkan mengumpati diriku sendiri. Kedongkolan hatiku di tengah hujan deras tanpa mantel hujan, sambil tikang-tikung menyelinap barisan mobil-mobil mewah yang merayap pelan, kulihat lelaki paruh baya sedang bersusah payah menarik gerobak sampah di ujung jalan. Benar-benar membuatku misuhi diriku sendiri, “Asu!” 

Kalau kau pernah lewat perempatan Brimob Baciro, kau pasti memperhatikan orang-orang ini. Minimal, melihat mereka. Di sana kau lihat seorang nenek tua yang menggelar dagangannya berupa sapu lidi sederhana di trotoar Jalan Kompol Suprapto, ada juga seorang lelaki paruh baya pengidap polio yang stand-by di lampu lalu lintas berjualan koran.

 
“Pak, korannya masih?” tanyaku.
“Hihya.. Bahih..” jawabnya agak tidak jelas. Akupun menyodorkan telingaku agar bisa memahaminya.

Memang, ia tak bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Cara berjalannya pun tertatih-tatih pincang. Orang-orang kebanyakan menyebutnya cacat fisik. Aku tak setuju, tidak ada ciptaan Tuhan Sang Maha Sempurna yang cacat. Semuanya pas dalam kodratnya masing-masing.

“Huhiah himana?” tanyanya, mungkin maksudnya, “Kuliah di mana?”
“Di UIN Pak. Ini habis dari kampus, ada acara wisuda,” jawabku segamblang mungkin.
“Hoooh.. Hahu hizuha?” tanyanya lagi, menanyakan apakah aku juga ikut wisuda.
“Waah belum.. Doakan ya Pak.. hehe..” sahutku lirih, “Dari jam berapa jualan Pak?”

Ia jawab sudah berjualan sejak jam delapan pagi. Dan sekarang sudah jam dua siang. Lima puluh eksemplar koran Tribun dagangannya kuhitung tinggal sisa sebelas, masing-masing dijual seribu perak. Jika hujan, otomatis tak ada pemasukan.

Seratus meter dari lampu lalu lintas ke arah barat, kau akan lihat seorang nenek anteng duduk selonjor di trotoar. Bukan mengemis, ia berjualan sapu lidi.

“Berapa harga sapunya, Mbah?” tanyaku sambil milih-milih sapu yang kokoh ikatannya.
“Tiga ribu, Mas,” jawab simbah sangat pelan, hampir tak terdengar.

Dari dua puluh lima sapu lidi yang dibawanya sejak pagi tadi, sudah lima sapu yang laku. Dan itu rata-rata penghasilannya setiap hari.

“Mbah rumahnya dimana? Ini sapu buatan Mbah sendiri?” tanyaku agak pelan.
“Oh iya. Ini sapu saya. Rumah saya Kulonprogo,” jelas simbah sambil memilihkan sapu buatku.

Setiap pagi ia berangkat dari Kulonprogo yang berjarak puluhan kilo dari tempatnya berdagang, diantar oleh seorang kerabat. Aku tak sempat tanya kenapa ia memilih tempat ini untuk berjualan. Jika kebetulan hujan, ia akan menumpang berteduh di bangunan-bangunan pinggir jalan itu. Dan praktis, tidak ada yang beli.

Kau tidak usah bertanya di mana keluarga atau anak cucunya. Atau mengapa di usia yang begitu senja ia masih gigih berjualan begitu jauh dari kampung halamannya. Selain faktor kebutuhan, ada satu sisi yang perlu kau tahu tentang orang-orang tua kita, yaitu etos kerja. Jiwa-jiwa mandiri semacam ini bisa bertahan hidup walau tanpa negara sekalipun, bahkan kadang adanya negara justru merepotkan mereka dengan berbagai aturan pembatasan, bukan pemberdayaan.

Jiwa berkarya yang mereka miliki mengukir kepribadian yang tidak manja. Mereka akan tetap bekerja, asalkan halal dan tak hina. Berbeda dengan sudut pandang kebanyakan anak muda jaman sekarang –mungkin termasuk saya - tentang ‘pekerjaan’. Kita menganggapnya sebagai suatu hal yang prestisius, gengsi dan ‘pamrih-oriented’. Kita banyak berkoar tanpa secuilpun karya. Sedangkan mereka yang beretos kerja tinggi, selalu berupaya berkarya sekecil apapun, tanpa umbar bualan. Atau kata orang Jawa; “Sepi ing pamrih, rame ing gawe.”

~

Sambil kucium tangannya, aku pamit kepada simbah. Ia tersenyum sumringah, senyuman cerah yang menyeruak lubuk hati pemandangnya. Mampir di Masjid Sultan Agung untuk istirahat sebentar, kudengar takbir membahana dari kawan-kawan KAMMI yang sedang beragenda. Melewati Jalan Tamansiswa, nampak mahasiswa-mahasiswa desain DKV ramai menggelar lapak gratis di depan kampusnya. Dan sampai di pelataran Pesantren Krapyak, beberapa santri terlihat sibuk merapal ayat-ayat suci.

Ah, semarak nian hidup ini.
 

Sumber: budairi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar