Betapa teduh kalimat itu. Ungkapan sayang
yang mengalir sejuk dari bibir seorang wanita yang berpredikat sebagai
ibu. Harapan dan doa senantiasa mengalir dari lubuk hati yang paling
dalam bagi si buah hati yang telah dikandungnya selama sembilan bulan
lebih. Kebahagiaan buah hatinya adalah kebahagiaannya. Pun dengan
penderitaan sang buah hati adalah penderitaannya. Tapi bagaimana bila
sebuah musibah merenggut nyawa sang buah hati secara tiba-tiba? Inilah
lukisan ketabahan seorang ibu dalam menghadapi takdir-Nya.
Dan ini hanyalah salah satu dari puluhan ribu kisah para ibu lain yang pernah mengalami musibah serupa namun tak sama.
Teruntuk para ibu, semoga Allah membalas semua kesabaranmu.
Siang itu terasa nyaman, sebagaimana
biasanya, Halimah melepas kepergian Harun, Suaminya untuk bekerja di
sebuah toko kelontong yang letaknya tak begitu jauh dari rumah mereka,
yang jikalau ditempuh dengan bersepeda motor hanya dalam hitungan menit
saja.
Halimah, wanita shalihah yang berjilbab
ini hidup dalam kedamaian. Tepatnya setahun lalu pasangan in dikaruniai
buah hati laki-laki yang lucu dan sehat. Kehadiran buah hati ini dirasa
menambah lengkapnya kebahagiaan mereka. Mereka memberi nama Fais kepada
si kecil.
Beberapa saudara suaminya tinggal tak
jauh dari rumah mereka, hingga mereka bisa saling berbagi kebahagiaan
dan saling mengunjungi. Semua berjalan biasa tanpa liku perubahan yang
berarti, hingga tiba hari yang tak terlupa sepanjang hidup itu.
Selang satu jam setelah kepergian sang
suami, Halimah mendengar suara aneh dari arah laut. Suara itu lebih
menyerupai sebuah tiupan keras yang kian lama makin terdengar jelas.
Namun kira-kira sepuluh menit suara itu mereda dan hilang sama sekali.
Sepuluh menit kemudian suasana kembali tenang. Hanya sepuluh menit saja,
setelah itu terdengar lagi suara seperti tadi meski lebih pelan, namun
diiringi dengan gempa yang sangat terasa hingga menggetarkan seisi rumah
dan mengakibatkan kursi dan meja bergeser kesana kemari. Halimah
sungguh ketakutan. Faiz yang berada dalam gendongan menangis
menjerit-jerit. Sang bocah rupanya merasakan ada sesuatu yang tidak
beres tengah terjadi.
Halimah tak berani keluar rumah. Dari
jendela yang sedikit terkuak ia melihat pohon-pohon kecil bertumbangan
diterpa angin yang sangat kuat.
Hatinya mulai sedikit lega, karena
setengah jam berikutnya badai laut dan gempa mulai mereda. Suara yang
terdengar bergemuruh sedikit demi sedikit menghilang. Saat itulah
pintunya diketuk diiringi ucapan salam. Nampaknya suaminya pulang. Saat
pintu dibuka terlihat sosok suaminya yang berdiri dengan roman muka
penuh ketegangan.Halimah sendiri tidak kalah khawatir memandang wajah
sang suami. Melihat istri dan anaknya sehat-sehat saja, ia terlihat
sedikit tenang. Satu jam lebih Harun menemani istri dan anaknya. Sejenak
mereka menenangkan diri. Hanya sesekali Halimah membereskan
barang-barang rumah yang berantakan, sedangkan si kecil tetap dalam
dekapannya.
Dua jam berlalu. Kelihatannya badai sudah
benar-benar berhenti. Harun berpamitan kepada sang istri untuk kembali
ke toko kelontong untuk membereskan barang-barang yang belum sempat
ditata kembali. Halimah yang sudah mulai tenang tidak ragu sedikitpun,
toh untuk perjalanan pulang pergi dari toko hanya membutuhkan waktu
tidak lebih dari lima belas menit. Setelah suaminya pergi, Halimah
kembali beres-beres. Sang anak juga terlihat agak tenang meski matanya
kemerahan karena banyak menangis. Lima menit berselang. Getaran gempa
kembali terasa, namun gemuruh air laut terasa lebih kuat dari
sebelumnya. Halimah kembali panic. Ia melongok keluar dan terlihat
orang-orang di kampung itu berlarian ke luar rumah. Dari kejauhan
terlihat gumpalan asap hitam diiringi gelombang laut yang amat
mengerikan. Halimah segera mengenakan jilbabnya. Sedikit uang
simpanannya dan buntalan pakaian disiapkan, ia berpikir tentunya sang
suami sebentar lagi bakalan pulang. Benar saja, terdengar ketukan pintu
dan suara suaminya memberi salam dengan nada panik, karena ia sudah
menyaksikan keadaanluar rumah yang porak-poranda. Orang-orang terlihat
sibuk untuk mengungsi. Gelombang laut pun makin besar dan meninggi
hingga hampir mendekati area rumah mereka. Tak ada waktu lagi untuk ke
luar rumah. Harun lantas menyeret tangan istrinya ke bagian dalam rumah
mereka. Di belakang sana ada lubang empat persegi yang sudah disemen dan
ditutup dengan besi.
Dengan cepat ia mengajak istrinya ke
ruangan itu. Si kecil menjerit-jerit tidak karuan. Mereka sudah tak
sempat lagi mencari penyebab tangisan sang buah hati.
Bruak!!! Suara keras terdengar dari
balakang mereka dan disusul suara-suara benda lain. Harun mendahulukan
anak dan istrinya turun ke bawah. Dinginnya semen tidak lagi mereka
rasakan.
Badai itu tak hanya memporak-porandakan
barang-barang rumah. Tiang-tiang dan sebagian tembok rumah mereka yang
sebenarnya cukup kuat pun mulai ambruk, sehingga air laut tanpa bisa
dibendung lagi menerobos ke dalam. Tak ada jalan lain, pintu besi yang
memang sangat rapat itu segera ditutup. Sejenak kemudian hanya terdengar
suara gelombang hebat dan reruntuhan bangunan yang amat menyeramkan.
Jerit tangis anak mereka juga makin menjadi. Namun nafas mereka menjadi
sesak karena tidak adanya ventilasi. Tapi anehnya suara anak mereka
mulai berhenti sedikit demi sedikit. Hal ini justru membuat Halimah
ketakutan. Dengan ragu ia meminta suaminya untuk membuka tutup besi
tersebut. Harun sendiri bingung, bila pintu dibuka air bah akan masuk,
bahkan retuntuhan rumah jua bisa menimpa mereka. Benar-benar pilihan
yang sulit.
Lima belas menit kemudian badai mulai
mereda. Tangisan si kecil juga sudah berhenti sama sekali. Mereka
bertambah khawatir. Tanpa pikir panjang lagi pitu brankas mereka buka.
Awalnya terasa sangat sulit, mungkin tertutup reruntuhan bangunan. Walau
berhasil, mereka tetap saja bersusah payah untuk naik ke atas. Ditambah
bongkahan batu dan guyuran air hebat menghantam punggung mereka. Terasa
sakit memang. Namun hal ini tidak mereka rasakan.
Pemandangan di atas sungguh menggenaskan.
Sejauh mata memandang yang tampak hanya puing-puing reruntuhan dan
genangan air sampai sepaha. Hingga untuk berjalan saja mereka agak
kesulitan. Keadaan kampong mereka benar-benar telah hancur.
Sesaat kemudian, mereka baru teringat
dengan keadaan buah hati yang masih dalam gendongan. Wajah mungil itu
tampak pucat pasi, yang membuat dada mereka menjadi sesak adalah setelah
sekian lama mengalami kesulitan untuk bernafas, kini tak lagi terdengar
detak jantung maupun desah nafasnya. Harun memeriksa dengan seksama dan
ternyata buah hati mereka memang benar-benar telah pergi meninggalkan
dunia ini.
Suasana menjadi hening, Tak ada isak
tangis, meski cairan bening menetes membasahi pipi Halimah. Halimah
sadar, musibah ini adalah atas kehendak Allah ta’ala. Kematian anak
mereka merupakan garis takdir yang harus mereka jalani dan bukan karena
keteledoran mereka.
Badai “Tsunami” nama itu baru mereka ketahui setelah selamat dan bergabung dengan ribuan orang di kamp-kamp penampungan.
Saat para wartawan mewancarai mereka, terlihat ketenangan di roman muka mereka meski kesedihan tidak bisa disembunyikan.
Badai Tsunami memang telah merenggut
nyawa anak mereka yang semata wayang itu. Namun, sama sekali tak
merenggut keimanan di hati mereka.
Sungguh kesabaran Halimah sangat patut
dijadikan tauladan dalam hal ini. Dan semoga Allah ta’ala membalasnya
dengan berlimpah kebaikan dan rahmat. Amiin..
Sumber: http://aslibumiayu.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar