Foto Komodo sedang mengamati kotak umpan yang berhasil diambil oleh jebakan kamera yang dipasang oleh tim peneliti
Komodo memukau dunia karena keunikannya sebagai kadal terbesar di
dunia. Keberlanjutan populasi hewan yang berstatus terancam punah dalam
daftar International Union for Conservation of Nature (IUCN) juga
terus menjadi perhatian di tengah ancaman perubahan iklim dan penurunan
populasi reptil dan amfibi di dunia.
Salah satu yang menjadi
kesulitan dalam riset komodo saat ini adalah pengukuran populasinya.
Metode penghitungan populasi komodo selama ini dilakukan menggunakan
teknik jebakan menggunakan perangkap besar. Hal ini kurang praktis dan
menyulitkan.
Baru-baru ini, dalam sebuah artikel yang dilansir
oleh Our Amazing Planet, Jumat (29/3/2013), tim peneliti menemukan
bahwa metode kamera jebak (camera trap) yang biasa digunakan
untuk mengamati populasi mamalia besar, seperti harimau dan juga badak,
ternyata bisa digunakan untuk mengamati populasi komodo.
Awalnya,
tim peneliti meragukan efektivitas metode tersebut. Hal ini karena
komodo tergolong kelompok hewan berdarah dingin yang suhu tubuhnya
sering kali sama dengan suhu lingkungan di sekitarnya. Kamera jebak
sendiri bekerja menggunakan alat pendeteksi gerak biasanya berupa
inframerah yang mendeteksi panas dari tubuh hewan.
Ternyata,
penelitian mengungkap bahwa metode kamera jebak cukup efektif.
Berdasarkan hasil studi di lima pulau yang menjadi habitat komodo di
Indonesia, diketahui bahwa suhu tubuh komodo cukup hangat untuk
terdeteksi oleh kamera jebak meskipun kadal tersebut aktif pada siang
hari saat sensor inframerah tidak terlalu diperlukan.
Temuan ini
menjadi sebuah temuan yang penting. Dengan metode kamera jebak, upaya
penghitungan populasi komodo menjadi lebih sedikit memerlukan tenaga
manusia dan lebih murah. Dengan kamera, peneliti tak lagi perlu
menyiapkan jebakan besar, menjebaknya dengan daging kambing, dan
membebaskan hewan itu setelah diamati.
Di samping itu, jebakan
kamera bisa dipasang di banyak lokasi sehingga dapat membantu pemantauan
populasi hewan yang mampu tumbuh sepanjang 3 meter dan berat 87 kg ini
dari berbagai lokasi yang menjadi habitatnya.
Kajian ini
dilakukan oleh tim peneliti gabungan dari The Komodo Survival Program di
Bali bekerja sama dengan Taman Nasional Komodo dan peneliti dari
University of Florence, Italia, dan University of Melbourne, Australia.
Tim
dipimpin oleh Achmad Ariefiandy dari Komodo Survival Program, Bali,
dan Tim S Jessop dari University of Melbourne. Hasil penelitian
dipublikasikan di jurnal PLOS ONE pada 20 Maret 2013.
Sumber: http://sains.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar